Sabtu, 09 Februari 2013

TEORI PUISI

DIKSI DALAM PUISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Puisi merupakan salah satu karya sastra yang sampai sekarang belum mempunyai batasan pengertian yang jelas. Hal ini terjadi karena dari waktu  ke waktu puisi selalu berkembang dan selalu berubah-rubah. Banyak sekali pendapat yang diutarakan oleh para tokoh yang berkaitan dengan pengertian atau batasan puisi dan pendapat yang satu terkadang  berbeda dengan pendapat yang lainnya. Waluyo  (2005:1) melihat berdasarkan ciri-ciri yang ada pada puisi mengatakan  bahwa”puisi adalah karya sastra dengan bahasa yang dipadatkan, dipersingkat dan diberi irama dengan bunyi yang padu dan pemilihan kata-kata kias (imajinatif). Sebaliknya Ahmad (1978) (dalam Pradopo, 2002:7)  mengatakan bahwa bila unsur-unsur dari pendapat itu dipadukan, maka akan di dapat garis-garis besar tentang pengertian puisi yang sebenarnya. Unsur-unsur tersebut berupa: emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan, pancaindera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan dan perasaan yang bercampur-baur.
Dalam komunikasi, kata-kata disalurkan dalam suatu konstruksi yang lebih besar berdasarkan kaidah-kaidah sintaksis yang ada dalam suatu bahasa. Hal terpenting dari rangkaian kata-kata adalah pengertian yang tersirat di balik kata-kata yang digunakan. Pengertian yang tersirat dalam sebuah kata mengandung makna bahwa tiap kata mengungkapkan sebuah gagasan atau sebuah ide. Dengan kata lain kata adalah alat penyalur gagasan yang akan disampaikan kepada orang lain. Semakin banyak kata yang dikuasai seseorang maka semakin banyak pula ide atau gagasan yang dapat diucapkan.


1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang terdapat di dalam makalah ini, yaitu:
a.    Bagaimana penngertian puisi dan unsur di dalam puisi?
b.    Bagaimana perbedaan antara prosa dan puisi?
c.    Bagaimana pengertian diksi?
d.    Bagaimana ciri-ciri diksi?
e.    Bagaimana fungsi diksi?
f.     Apa saja hal-hal yang mempengaruhi pilihan kata atau diksi?
g.    Bagaimana diksi di dalam puisi?
h.    Bagaimana hubungan perbendaharaan kata, urutan kata, dan daya sugesti dengan diksi dalam puisi?

1.3 Tujuan
a.    Mengetahui pengertian puisi dan unsur di dalam puisi.
b.    Mengetahui perbedaan antara prosa dan puisi.
c.    Mengetahui pengertian diksi.
d.    Mengetahui ciri-ciri diksi.
e.    Mengetahui fungsi diksi.
f.     Mengetahui hal-hal yang mempengaruhi pilihan kata atau diksi.
g.    Mengetahui diksi di dalam puisi.
h.    Mengetahui hubungan perbendaharaan kata, urutan kata, dan daya sugesti dengan fiksi di dalam puisi.







BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Puisi dan Unsur di dalam Puisi
Secara etimologis.kata puisi berasal dari bahasa Yunani poemia yang berarti membuat, poeisis yang berarti pembuatan, atau poeites yang berarti pembuat, pembangun atau pembentuk. Di Inggris puisi itu disebut poem atau poetry yang tidak jauh berbeda dengan to make atau to create, sehingga pernah lama sekali di Inggris puisi itu disebut maker.
Lebih lanjut Tengsoe Tjahjono mendefinisikan puisi sebagai ungkapan pikir dan rasa yang padat dan berirama, dalam bentuk larik dan bait dengan memakai bahasa indah dalam koridor estetik. Hudson mengungkapkan puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:6) mengumpulkan definisi puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh para penyair romantik Inggris sebagai berikut.
(1)   Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
(2)   Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
(3)   Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
(4)   Dunton berpendapat bahwa sebenarnya puisi itu merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Misalnya, dengan kiasan, dengan citra-citra, dan disusun secara artistik (misalnya selaras, simetris, pemilihan kata-katanya tepat, dan sebagainya), dan bahasanya penuh perasaan, serta berirama seperti musik (pergantian bunyi kata-katanya berturu-turut secara teratur).
(5)   Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam hidup. Misalnya saja peristiwa-peristiwa yang sangat mengesankan dan menimbulkan keharuan yang kuat seperti kebahagiaan, kegembiraan yang memuncak, percintaan, bahkan kesedihan karena kematian orang yang sangat dicintai. Semuanya merupakan detik-detik yang paling indah untuk direkam.
Dari definisi-definisi di atas memang seolah terdapat perbedaan pemikiran, namun tetap terdapat benang merah. Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 1993:7) menyimpulkan bahwa pengertian puisi di atas terdapat garis-garis besar tentang puisi itu sebenarnya. Unsur-unsur itu berupa emosi, imajinas, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur-baur.


2. Unsur-unsur Puisi
Berikut ini merupakan beberapa pendapat mengenai unsur-unsur puisi.
(1)   Richards (dalam Tarigan, 1986) mengatakan bahwa unsur puisi terdiri dari (1) hakikat puisi yang melipuiti tema (sense), rasa (feeling), amanat (intention), nada (tone), serta (2) metode puisi yang meliputi diksi, imajeri, kata nyata, majas, ritme, dan rima.
(2)   Waluyo (1987) yang mengatakan bahwa dalam puisi terdapat struktur fisik atau yang disebut pula sebagai struktur kebahasaan dan struktur batin puisi yang berupa ungkapan batin pengarang.
(3)   Altenberg dan Lewis (dalam Badrun, 1989:6), meskipun tidak menyatakan secara jelas tentang unsur-unsur puisi, namun dari outline buku mereka bisa dilihat adanya (1) sifat puisi, (2) bahasa puisi: diksi, imajeri, bahasa kiasan, sarana retorika, (3) bentuk: nilai bunyi, verifikasi, bentuk, dan makna, (4) isi: narasi, emosi, dan tema.
(4)   Dick Hartoko (dalam Waluyo, 1987:27) menyebut adanya unsur penting dalam puisi, yaitu unsur tematik atau unsur semantik puisi dan unsur sintaksis puisi. Unsur tematik puisi lebih menunjuk ke arah struktur batin puisi, unsur sintaksis menunjuk ke arah struktur fisik puisi.
(5)   Meyer menyebutkan unsur puisi meliputi (1) diksi, (2) imajeri, (3) bahasa kiasan, (4) simbol, (5) bunyi, (6) ritme, (7) bentuk (Badrun, 1989:6).
Unsur-unsur puisi ini, menurut pendapat Richards dan Waluyo dapat dipilah menjadi dua struktur, yaitu struktur batin puisi (tema, nada, rasa, dan amanat) dan struktur fisik puisi (diksi, imajeri, bahasa figuratif, kata konkret, ritme, dan rima). Tjahjono membagi unsur-unsur puisi menjadi dua juga, yaitu lapis bentuk dan lapis makna.
1)    Lapis Bentuk
·         Bunyi dan irama dalam puisi
·         Diksi atau pemilihan kata dalam puisi
·         Baris dalam puisi
·         Enjambemen dalam puisi
·         Tipografi dalam puisi
·         Bait dalam puisi

2)    Lapis Makna
·         Sense
·         Subject matter
·         Feeling
·         Tone
·         Total of meaning
·         Theme
2.2 Perbedaan antara Prosa dan Puisi
Terlebih dahulu akan kita dibicarakan perbedaan-perbedaan utama antara prosa dan puisi. Lucia B. Mirrielees (dalam Tarigan, 1984 : 42). Mengatakan bahwa perbedaan utama antara prosa dan puisi terletak dalam : (1). Maksud dan tujuan sang pengarang, (2). Bentuknya terutama sekali dalam ritme, rima dan pola-pola persajakan, (3). Hubungan dengan musik atau lagu, baik lagu kata maupun lagu kalimat, (4). Terpentingnya penjelasan yang terperinci terhadap pengertian setiap kata yang terdapat di dalamnya (5). Kuantitas majas, kata kias yang terdapat di dalamnya (6). Pemakaian refrensi, simbol serta implikasi-implikasi.
Demikianlah perbedaan-perbedaan yang terdapat antara prosa dan puisi, maka “maksud dan tujuan” puisi adalah : (1). Bukan untuk menyatakan makna, tetapi justru untuk menyarankan, (2). Bukan untuk menceritakan tetapi melukiskan, (3). Bukan untuk menerangkan atau menjelaskan tetapi mengajak atau mendorong para pembaca berkreasi, (4). Bukan untuk berbicara tetapi berdendang atau berlagu, (5). Bukan untuk berdendang atau berlagu melulu tetapi justru membangun atau menimbulkan dendang atau lagu pada para penikmatnya (Mirrielees dalam Tarigan, 1993 : 43).
Pengertian lain mengenai puisi dikemukakan Slamet Muljana (1956: 112), ia mengutip definisi A. W. de Groot dalam bukunya Algemene Verseleer, sebagai berikut:
Perbedaan pokok antara prosa dan puisi.
  1. Kesatuan-kesatuan korespondensi prosa yang pokok ialah kesatuan sintaksis; kesatuan korespondensi puisi resminya bukan kesatuan sintaksis, melainkan kesatuan akustis.
  2. Di dalam puisi korespondensi dari corak tertentu, yang terdiri dari kesatuan-kesatuan tertentu pula, meliputi seluruh puisi dari semula sampai akhir. Kesatuan ini disebut baris sajak.
  3. Di dalam baris sajak ada periodisitas dari mulai awal sampai akhir.

2.3 Pengertian Diksi
Diksi atau pilihan kata berkaitan dengan kata (-kata) mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, memilih kelompok kata-kata atau menggunakan ungkapan yang tepat, dan gaya yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
Diksi yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu.  Diksi juga merupakan pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara atau yang lebih umum digambarkan dengan enunsiasi kata - seni berbicara jelas, sehingga setiap kata dapat didengar dan dipahami hingga kompleksitas dan ekstrimitas terjauhnya.
Diksi, dalam arti aslinya dan pertama, merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis atau pembicara. Arti kedua, arti “diksi” yang lebih umum digambarkan dengan enunsiasi kata – seni berbicara jelas sehingga setiap kata dapat didengar dan dipahami hingga kompleksitas dan ekstrimitas terjauhnya. Arti kedua ini membicarakan pengucapan dan intonasi, daripada pemilihan kata dan gaya.
Adapun menurut tokoh Gorys Keraf (2002) mengemukakan poin-poin penting tentang diksi.
§  Plilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata–kata mana yang harus dipakai untuk mencapai suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata–kata yang tepat atau menggunakan ungkapan–ungkapan, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
§  Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa–nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
§  Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasa sejumlah besar kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud pembendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki suatu bahasa.
Diksi memiliki beberapa bagian; pendaftaran kata formal atau informal dalam konteks sosial adalah yang utama. Analisis diksi secara literal menemukan bagaimana satu kalimat menghasilkan intonasi dan karakterisasi, contohnya penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan gerakan fisik menggambarkan karakter aktif, sementara penggunaan kata-kata yang berhubungan dengan pikiran menggambarkan karakter yang introspektif. Diksi juga memiliki dampak terhadap pemilihan kata dan sintakis. Diksi terdiri dari delapan elemen yaitu :
ü  Fonem
ü  Silabel
ü  Konjungsi
ü  Hubungan
ü  Kata benda
ü  Kata kerja
ü  Infleksi
ü  Uterans
2.4 Ciri-Ciri Diksi
Ciri-ciri diksi antara lain, sebagai berikut:
Ø  menggunakan lafal
Ø  tekanan
Ø  intonasi yang sesuai menentukan pilihan kata (diksi)
Ø  bentuk kata dan ungkapan yang tepat dalam kalimat 

2.5 Fungsi Diksi
Berikut adalah Fungsi Diksi :
  1. Melambangkan gagasan yang diekspresikan secara verbal.
  2. Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak resmi) sehingga menyenangkan pendengar atau pembaca.
  3. Menciptakan komunikasi yang baik dan benar.
  4. Menciptakan suasana yang tepat.
  5. Mencegah perbedaan penafsiran.
  6. Mencegah salah pemahaman.
  7. Mengefektifkan pencapaian target komunikasi.
2.6 Hal-Hal yang Mempengaruhi Pilihan Kata atau Diksi
Sebelum menentukan pilihan kata, maka harus diperhatikan dua hal pokok, yakni: masalah makna dan relasi makna.
·         Makna sebuah kata atau sebuah kalimat merupakan makna yang tidak selalu berdiri sendiri. Adapun makna menurut Chaer (Chaer, 1994: 60) terbagi atas beberapa kelompok yaitu:
a.    Makna Leksikal dan makna Gramatikal
b.    Makna Referensial dan Nonreferensial
c.    Makna Denotatif dan Konotatif
d.    Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
e.    Makna Kata dan Makna Istilah
f.     Makna Idiomatikal dan Peribahasa
g.    Makna Kias dan Lugas
·         Relasi adalah hubungan makna yang menyangkut hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (redundansi) dan sebagainya. Adapun relasi makna terbagi atas beberapa kelompok yaitu :
a.    Kesamaan Makna (Sinonim)
b.    Kebalikan Makna (Antonim)
c.    Kegandaan Makna (Polisemi dan Ambiguitas)
d.    Ketercakupan Makna (Hiponimi)
e.    Kelebihan Makna (Redundansi)
2.7 Diksi di dalam Puisi
Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya seperti yang dialami batinnya. Selain itu juga, ingin mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjilmakan pengalaman jiwanya tersebut, untuk itu haruslah dipilih kata setepatnya. Pemilihan kata dalam sajak disebut diksi. Diksi digunakan utuk mendapatkan kepuitisan dan untuk mendapat nilai estetik. Penyair ingin mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dan intens. Penyair mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan sangat cermat. Seperti misalnya Chairil Anwar, begitu cermat ia memilih kata-kata dan kalimatnya. Misalnya sajaknya “Aku” yang terkenal itu, dalam Kerikil Tajam judulnya “Semangat”, dalam Deru Campur Debu berjudul “Aku”. Juga kata ‘Ku tahu’ pada baris kedua bait pertama, diganti ‘Ku mau’, sebagai berikut:
SEMANGAT
Kalau sampai waktuku
‘Ku tahu tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tidak perlu sedu sedan itu!
……
            (Kerikil Tajam, h. 15)

AKU
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang pun ‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
……..
            (Deri Campur Debu, h. 7)
Mengapa Chairil mengganti kata-kata itu? Kalau dirasa-rasakan, dalam kata ‘semangat’ itu terkandung arti perasaan yang menyala-nyala, dan terasa ada sifat propagandisataupun rasa yang agak bombastis, berlebih-lebihan, ‘semangat-semangatan. Sedangkan dalam kata ‘aku’ lebih tepat dari ‘semangat’ untuk judulnya. Adapun judul “Semangat” itu sesungguhnya dulu untuk mengelabui sensor yang keras pada zaman Jepang sehingga dengan kata yang berbau propagandis atau sloganis itu, sajak yang sesungguhnya individualistis yang terlarang di zaman Jepang itu, dapat lolos dari sensor. Sedangkan kata  ‘Ku tahu’ ini mengandung perasaan pesimistis, rasa keterpencilan. Bila sajak itu dideklamasikan, maka nadanya rendah dan melankolik. Hal ini tidak sesuai dengat bait-bait selanjutnya yang penuh semangat dan rasa vitalitas yang menyala. Maka dirasa kata itu tidak tepat dan diganti oleh penyair dengan kata ‘Ku mau’ yang lebih menunjukkan kemauan pribadi yang kuat. Ia mau orang lain tidak sedih, tidak merayu atas kematiannya. Dengan demikian kata itu sesuai dengan keseluruhan sajak itu. Cara mendeklamasikannya pun dengan penuh vitalitas, tidak melankolik lagi.
Diksi berarti juga pemilihan kata yang tepat, padat, kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu mengembangkan dan mempengaruhi daya imajinasi pembaca. Puisi merupakan bentuk sastra yang bersifat konsetratif dan aksentuatif, memusatkan pada isi daripada kulit luarnya. Prinsip yang harus diingat adalah menulis puisi bukan menulis kata-kata, melainkan menulis esensi dari kata-kata itu.
  Contoh:
Perhatikan puisi Chairil Anwar berikut ini
HAMPA                             
:kepada Sri
Sepi di luar.
Sepi menekan-mendesak.

Lurus kaku pohonan.
Tak bergerak
Sampai ke puncak.
Sepi memagut,

Tak satu kuasa melepas-renggut

Segala menanti.
Menanti
Sepi.
Tambah ini menanti jadi mencekik

Memberat-mencekung punda

Sampai binasa segala.
Belum apa-apa
Udara bertuba.
Setan bertempik

Ini sepi terus ada.
 Dan menanti.
Karena sifatnya yang konsentratif dan aksentuatif memahami puisi itu sangat sulit sekali. “Sulit” di sini diartikan bahwa untuk memahami puisi diperlukan proses panjang. Kalimat dalam puisi telah mengalami proses elipsi. Bagian-bagian yang sengaja dihilangkan oleh penyair dalam proses penciptaan puisi disebut penanda pertalian.
HAMPA
:kepada Sri
(keadaan amat) Sepi di luar (sana).

(Keadaan) Sepi (itu) menekan-(dan) mendesak.

Lurus kaku pohon(-pohon)an (disana).

(pohonan itu) Tak bergerak

Sampai ke puncak (nya).
 Sepi (itu) memagut(ku),

Tak satu kuasa (pun dapat) melepas-(dan me)renggut(nya dariku)

Segala(nya hanya) menanti.
 Menanti.
 (dan) Menanti (lagi).

(menanti dalam) Sepi.

(di) Tambah (lagi dengan keadaan saat) ini (,) menanti jadi mencekik (malah)
Memberat(kan dan)-mencekung (kan) punda (kku)

Sampai binasa segala(-galanya). (itu pun) Belum apa-apa

(bahkan) Udara (pun telah) bertuba. Setan (pun) bertempik (sorak)

Ini (,) (peraan) sepi (ini) terus (saja) ada.
Dan (aku masih tetap) menanti.
Pilihan kata dan diksi tidak saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi soal perbendaharaan kata, urutan kata, dan daya sugesti. Adalah suatu kekeliruan yang besar untuk menganggap bahwa persoalan pilihan kata adalah persoalan yang sederhana, persoalan yang tidak perlu dibahas atau perlu dipelajari karena akan terjadi dengan sendirinya dengan wajar pada setiap manusia.
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diksi adalah pilihan kata yang bermakna tepat dan selaras (cocok penggunaannya) untuk mengungkap gagasan dengan pokok bahasan, peristiwa dan khalayak pembaca atau pendengar (Moeliono, 1990 : 205). Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa diksi adalah kegiatan memilih kata setepat mungkin untuk mengungkapkan gagasan atau ide (dalam Hasanuddin W.S. 200 : 98).
Peranan diksi dalam puisi sangat penting karena kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi, bahkan untuk jenis puisi imajis, seperti dinyatakan oleh Sapardi Djoko Darono kata tidak sekedar berperan sebagai sarana yang menghubungkan pembaca dan gagasan penyair, seperti peran kata dalam bahasa sehari-hari dan proses umumnya, dalam puisi imajis kata-kata sekaligus sebagai pendukung dan penghubung pembaca dunia intuisi penyair. Begitu pentingnya pilihan kata dalam puisi sehingga ada yang menyatakan bahwa diksi merupakan esensi penulisan sebuah puisi bahkan ada pula yang menyebutkan sebagai dasar bangunan setiap puisi sehingga dikatakan pula bahwa diksi merupakan faktor penentu seberapa jauh seorang penyakit mempunyai daya cipta yang asli.
Kata-kata yang digunakan dalam dunia persajakan tidak seluruhnya bergantung pada makna denotatif, tetapi lebih cenderung pada makna konotatif. Konotasi atau nilai kata inilah yang justru lebih banyak memberi efek bagi para penikmatanya. Uraian-uraian ilmiah biasanya lebih mementingkan denotasi, itulah sebabnya maka sering orang mengatakan bahwa bahasa ilmiah bersifat denotatif sedangkan bahasa sastra bersifat konotatif.
Dalam puisi penempatan kata-kata sangat penting artinya dalam rangka menumbuhkan suasana puitik yang akan membawa pembaca kepada pemikiran dan pemahaman yang menyeluruh dan total. Beberapa penyair sering mempergunakan kata-kata biasa, yakni kata-kata sederhana yang biasa dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata semacam ini dengan cepat dan tidak terlalu sukar dimengerti oleh pembaca karena kata-kata tersebut menampilkan efek kejelasan yang bersifat langsung, seperti, urutan kata dan daya sugesti, oleh karena itu penulis akan mendiskripsikan tentang tiga aspek dalam diksi tersebut.
Diksi sebagai satu unsur yang ikut membangun keberadaan puisi berarti pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan-perasaan yang bergejolak dan menggejala dalam dirinya. Peranan diksi di dalam penulisan puisi memiliki arti penting karena kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi. Bahkan, untuk jenis puisi imajis seperti ditulis oleh Sapardi Djoko Damono, kata-kata tidak sekadar berperan sebagai sarana yang menghubugkan pembaca dengan gagasan penyair. Dalam puisi imajis, kata-kata sekaligus sebagai pendukung dan penghubung pembaca dengan dunia intuisi penyair.
Dapat dikemukakan bahwa diksi merupakan esensi penulisan puisi. Pilihan kata yang tepat dan cermat dapat mengukuhkan pengalaman penyair di dalam puisi yang ditulisnya. Pilihan kata yang tepat dan cermat memungkinkan kata-kata tidak sekedar merekat dan menempel satu sama lain, tetapi kata-kata itu dinamis dan bergerak serta memberikan kesan yang hidup. Kata-kata seperti itu tidak sekadar menjadi penanda, tetapi sekaligus menjadi dunia puitik itu sendiri. Oleh karena itu, untuk menulis puisi siapapun tidak boleh meremehkan atau mengabaikan unsur diksi ini. Penulis puisi tidak boleh menafikan kosakata, bahasa kiasan, bangunan imaji dan sarana retorika.
Meskipun diksi dalam penulisan puisi memiliki arti penting, Sanusi Pane pernah mengingatkan bahwa kata-kata yang dipilih dalam penulisan puisi tak serta merta menggunakan kata-kata yang rancak (indah semata), kata-kata yang pelik hanya mengejar estetika (kata-kata yang rumit hanya mengejar keindahan menurut versi penyair dan menjadi asing di mata pembaca), penyair disarankan untuk membuang segala kata yang ciuma mempermainkan mata, hanya dibaca sepintas lalu karena kata-kata itu tidak keluar dari sukma (jiwa, batin, pikiran dan perasaan) penyair. Kita simak sebuah puisi Sanusi Pane berjudul "Sajak" berikut ini

SAJAK

O, bukannya dalam kata yang rancak
kata yang pelik kebagusan sajak,
O, pujangga,buang segala kata,
yang 'kan cuma mempermainkan mata,
dan hanya dibaca selintas lalu,
karena tak keluar dari sukmamu.

Seperti matahari mencintai bumi,
memberi sinar selama-lamanya,
tidak meminta sesuatu kembali,
harus cintamu senantiasa
(Sanusi Pane, Tonggak 1, hlm. 41)

Di akhir puisinya yang berjudul "Sajak", Sanusi Pane menambahkan bahwa puisi yang baik, pilihan kata yang tepat dan cerpat di dalam puisi, memiliki substansi seperti matahari yang setia memberikan sinarnya. Matahari itu setia dan tidak meminta imbalan. Matahari makna itu hanya dapat dipahami, dimengerti dan dihayati oleh 'kecintaan' pembaca. Apa pun diksi yang dipakai oleh penyair haruslah fungsional, komunikatif, menarik perhatian, dan memendarkan makna secara abadi.
Diksi atau pilihan kata menjadi satu hal yang pokok bagi seorang penulis atau sastrawan dalam membuat karyanya. Dengan pilihan kata yang se-irama dengan nada perasaan si Penulis, berbagai selip semangat dan gairah mampu di munculkan dengan berbagai varian yang luar biasa. Dalam kondisi sedih, rindu, dendam, bersemangat, kasmaran dan mungkin juga campuran berbagai rasa.
Pemilihan kata yang secara tidak langsung berhubungan dengan konteks sosio-kultural si Penulis, terkadang memberikan warna yang unik dalam karyanya. Misal dengan munculnya beberapa patah kata lokal yang sulit dipadankan dengan lingua franca daerah penulis, menjadikan lebih berwarna meski hal tersebut setidaknya ‘menodai’.
Kenapa ‘menodai’ dengan tanda kutip, karena ada yang beranggapan jika menghadirkan kata lokal dalam karya yang bertujuan universal, maka terkesan cenderung egoistis memunculkan ke-suku-annya. Tetapi di sisi lain hal ini memang tak bisa dipungkiri akan memberikan warna dan ciri yang khas dalam varian karya sastra.
Selanjutnya, hal yang paling menitikberatkan pada diksi adalah pembuatan puisi. Begitu sakralnya puisi, terkadang sastrawan atau penulis akan terus menyempurnakan sebuah puisi dalam beberapa hari atau bahkan bulan. Hanya untuk Satu puisi!!!. Hal ini dikarenakan sang penulis atau Sastrawan menginginkan suatu hal yang luar biasa selain juga terbaru dalam racikan rangkaian kalimatnya.
Terkadang menjadi ironi ketika pembaca atau penikmat sastra khususnya puisi beranggapan sederhana dalam proses kelahiran puisi. Contoh, hanya karena puisi yang dibaca terdiri dari dua baris saja. Padahal, dalam baris tersebut sungguh tersimpan makna yang berlipat jika memang mau mendalaminya. Namun seringkali disalahpahami oleh pembaca yang awam tentang dunia Persastra-an atau per-puisi-an. Hal ini berakibat, pembaca yang juga tertarik ingin menulis puisi mengesampingkan dalamnya makna pada proses uji coba pembuatan puisinya. Terlihat misalnya diksi dari penulis/sastrawan ‘coba-coba’ ini yang terkesan apa adanya tanpa ada pemilihan kata yang serius. Alhasil karya yang dihasilkanpun terkesan biasa saja. Kata-kata yang dirajut dalam karyanya ditampilkan dengan kata yang biasa dikomunikasikan dalam bahasa sehari-hari. Tak ada yang spesial sekaligus menantang untuk menggali makna dalam karya tersebut sehingga terjadi desakralisasi makna.
Diksi adalah pilihan kata, yang merupakan satu kesatuan dari keutuhan puisi. Jadi bukan berarti memakai kata-kata yang artinya baru diketahui setelah memeriksa KBBI, lantas puisi tersebut baru dianggap keren dan mengandung nilai sastra. Penyair-penyair besar Indonesia banyak menggunakan diksi yang sederhana dan gampang dimengerti, tapi puisi yang dihasilkannya sungguh indah. Kita ambil contoh puisi karya Sapardi Djoko Damono:



Perahu Kertas
Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertas dan kau layarkan di tepi kali; alirnya Sangat tenang, dan perahumu bergoyang menuju lautan.
“Ia akan singgah di bandar-bandar besar,” kata seorang lelaki tua. Kau sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala.
Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindu-mu itu.
Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,
“Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit.”
(Perahu Kertas - Kumpulan Sajak, 1982)
Untuk menghasilkan puisi yang bagus, selain diksi, kemahiran menggunakan imaji kata-kata, bahasa figuratif (majas) dan rima adalah unsur-unsur dalam penulisan puisi yang tidak boleh luput diperhatikan. Banyak penyair-penyair yang justru membebaskan diri dari semua ikatan teori, menjelajah imajinasi kata-kata seliar-liarnya, dan jadilah puisi yang luar biasa.  Seperti puisi karya Sutardji Calzoum Bachri berikut ini:
Sepisaupi
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisapanya sepikau sepi
sepisaupa sepisaupoi
sepikul diri keranjang duri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisauNya ke dalam nyanyi
(1973)
Dengan sering menulis puisi, proses pembelajaran akan terbentuk dengan sendirinya dan pada akhirnya akan menghasilkan tulisan yang berkarakter.
Sajak Cinta Buat Nda - Pringadi Abdi
di palembang, nda. hanya di palembang,
burung-burung tidak lagi kepingin terbang, udara
dingin menusuk tulang, dan syalmu menanti
aku datang
rindu ini begitu akut, mengalahkan gagak-gagak
di tiang listrik yang khusyuk
menanti kematian
di palembang, nda, jembatan ampera masih tegak
membelah sungai musi yang keruh;
cinta ini selalu penuh, meski terkadang angkuh
tetapi sungguh
tak ada kata-kata dari kesunyian
yang lebih indah dari kenangan perjalananku
denganmu
Kau Gemakan Laguku Saat Jendela Terbuka - Andi Gunawan
:Yessa Putra Noviansyah
Hari-hari merupa hitam putih sesekali terselip abu. Umpama tembakau dalam kemasan petang, kunikmati selingan kelabu yang menggelayuti mau sebelum datang merah.
Kau mengetuk pintu dan kubiarkan masuk lewat jendela. Pintu terlalu lapang saat terbuka -mengaburkan asap yang ingin kujaga baunya dalam kubusku.
Demi kelayakan predikat, kubagi sesesap jujur padamu yang masuk lewat jendela berkarat. Kepulannya merasuki celah yang rahasia, kenapa kau buka pintu?
Puisi adalah bentuk seni yang paling subjektif. Berbeda dengan lakon, tari atau lukisan, puisi tidak dapat dinilai secara visual. Berhubung ia lebih banyak bermain di ranah rasa dan emosi, tidak seperti cerpen atau novel yang dapat ditelusuri narasi, plot dan karakter tokoh-tokohnya, maka penilaian terhadap bagus tidaknya sebuah puisi cenderung menjadi ambigu. Menuruku, kedua puisi tulisan Pringadi Abdi dan Andi Gunawan adalah contoh puisi yang bagus. Pemilihan diksi yang menarik: Hari-hari merupa hitam putih sesekali terselip abu (Kau Gemakan Laguku Saat Jendela Terbuka); kenapa abu, bukannya kelabu? Kupikir abu, selain mewakili warna, juga merupa sebagai abu dari sisa pembakaran, yang ternyata tepat sekali disambung dengan kalimat berikutnya: Umpama tembakau dalam kemasan petang. Atau rima yang manis sekali di puisi Sajak Cinta Buat Nda: di palembang, nda. di palembang.// burung-burung tidak lagi kepingin terbang, udara//dingin menusuk tulang, dan syalmu menanti. Kata-kata berakhiran ‘g’ dalam palembang, burung, terbang dan tulang, terbaca ritmis meski tidak selalu disandingkan menjadi kata terakhir di baris. Pengulangan kata di palembang, di palembang, adalah penekanan lokasi yang disambung dengan gambaran jembatan ampera di bait terakhir yang berhasil membawa kita ke dalam perjalanan cinta nda dengan si penyair.
2.8 Hubungan Perbendaharaan Kata, Urutan Kata, dan Daya Sugesti dengan Fiksi di dalam Puisi
Berdasarkan bentuk dan isi, kata-kata dalam puisi dapat dibedakan antara:
1.    Lambang, yakni bila kata-kata itu mengandung makna seperti makna dalam kamus (makna leksikal) sehingga acuan maknanya tidak menunjuk pada berbagai macam kemungkinan lain (makna denotative),
2.    Utterance atau indice, yakni kata-kata yang mengandung makna sesuai dengan keberadaan dalam konteks pemakaian. Kata “jalang” dalam baris puisi Chairil, “Aku ini binatang jalang”, telah berbeda maknanya dengan “ wanita jalang itu telah berjanji berubah nasibnya”
3.    simbol, yakni bila kata-kata itu mengandung makna ganda (makna konotatif) sehingga untuk memahaminya seseorang harus menafsirkannya (interpretative) dengan melihat bagaimana hubungan makna kata tersebut dengan makna kata lainnya (analisis kontektual), sekaligus berusaha menemukan figur semantisnya lewat kaidah proyeksi, mengembalikan kata ataupun bentuk larik (kalimat) ke dalam bentuk yang lebih sederhana lewat pendekatan parafrastis.
Lambang dalam puisi dapat berupa kata tugas, kata dasar, maupun kata bentukan. Sedangkan simbol dapat dibedakan antara (1) blank symbol, yakni bila simbol itu, meskipun acuan maknanya bersifat konotatif, pembaca tidak perlu menafsirkannya karena acuan maknanya sudah bersifat umum, misalnya “tangan panjang”, “lembah duka”, “mata keranjang”, (2) Natural symbol, yakni bila simbol menggunakan realitas alam, misalnya “cemara pun gugur daun”, “ganggang menari”, hutan kelabu dalam hujan”, dan (3) Private symbol, yakni bila simbol itu secara khusus diciptakan dan digunakan penyairnya, misalnya “aku ini binatang jalang”, “mengabut nyanyian”, “lembar bumi yang fana”. Batas antara private symbol dengan natural symbol dalam hal ini sering kali kabur.
v  Perbendaharaan kata penyair di samping sangat penting untuk kekuatan ekspresi juga menentukan ciri khas penyair, di samping penyair, memilih kata berdasarkan makna yang akan disampaikan dan tingkat perasaan serta nuansa batinnya, juga dilatarbelakangi oleh faktor sosial budayanya. Suasana batin pengarang juga menentukan pilihan kata, artinya bila pengarang sedang marah maka dia akan menggunakan kata-kata yang keras (radikal), tetapi bila dia dalam keadaan bahagia akan memakai kata-kata yang cenderung puitis, intensitas perasaan penyair, kadar emosi, cinta, benci, haru dan sebagainya.
Dalam puisi lisan, makna kata juga ditentukan oleh lagu, tekanan dan suara pada saat kata-kata itu dilaksanakan. Penyair sering kali memilih kata-kata khas yang maknanya hanya dapat dipahami setelah menelaah latar belakang penyairnya.
Suradji Calzoum Bachri memilih kata-kata khas seperi : ngiauhuss, puss, sangsi, ngilu, anu, bajingan, pot, menka, sihka dan lain-lain. Kata yang dipilih Sutardji ini kurang pantas untuk puisi-puisi Indonesia karena dalam puisinya banyak kata-kata yang tidak bermakna diberi makna, kata-kata yang sudah bermakna diberi makna baru dan juga dipergunakan untuk mengungkapkan ungkapan yang bersifat estetis. Para Penyair religius kata-kata yang digunakan ditujukan untuk mengungkapkan perasaannya kepada Tuhan. Sebaliknya bagi penyair atheis ungkapan itu menimbulkan nada yang tidak begitu simpatik.

v  Urutan kata dalam puisi bersifat baku, artinya urutan itu tidak dapat dipindah-pindah tempatnya, meskipun maknanya tidak berubah oleh perpindahan tempat itu. Cara menyusun urutan kata itu bersifat khas karena penyair yang satu berbeda caranya dari penyair yang lainnya. Dapat pula dinyatakan bahwa ada perbedaan tehnik menyusun urutan kata, baik urutan dalam tiap baris maupun urutan dalam suatu bait puisi.
Sutardji Calzoum Bachri sangat gemar menyusun urutan kata-kata dalam puisinya, bahkan urutan kata itu ditempatkan begitu rapi sehingga membentuk gambar, maka puisinya sering disebut puisi grafis karena mementingkan efek visual dari penyusunan baris puisinya. Dalam puisi-puisi protesnya, Rendra menggunakan urutan kata yang dimulai dari nama orang, panggilan nama orang atau kata penghubung yang berfungsi mengikat seluruh bait puisi.

v  Dalam memilih kata-kata penyair mempertimbangkan daya sugesti karena makna kata dipandang sangat mewakili perasaan penyair karena ketepatan pilihan kata dan ketepatan penampatannya. Kata-kata itu seolah memancarkan daya gaib yang mampu memberikan sugesti pembaca untuk ikut sedih, terharu, bersemangat, marah dan sebagainya. Untuk mengesankan penghargaan yang tinggi pada kekasihnya, Rendra melukiskan kekasihnya itu seperti bait puisi berikut ini : engkau putri duyung / tawananku / putri duyung dengan suara merdu lembut / bagai angin laut / mendesahlah bagiku.
Untuk menyatakan persatuan yang erat antara dua keluarga, Amir Hamzah membuat perumpamaan dengan “bagai rusa di puncak Tursina”. Kata-kata Amir Hamzah ini dirasa lebih sugestif. Untuk mengungkapkan bahwa di malam lebaran itu penyair tidak merasa bahagia, maka Sitor Situmorang menulis : /malam lebaran / bulan di atas kuburan. Kata-kata pilihan penyair memiliki kekuatan mensugesti pembaca. Bahasa puisi lebih bersifat konotatif dari pada bahasa prosa, hal ini antara lain diusahakan untuk mendapatkan daya sugesti itu sendiri.




























BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, emosional dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya sehingga mampu membangkitkan pengalaman tertentu dalam diri pembaca atau pendengarnya.  Demikianlah perbedaan-perbedaan yang terdapat antara prosa dan puisi, maka “maksud dan tujuan” puisi adalah : (1). Bukan untuk menyatakan makna, tetapi justru untuk menyarankan, (2). Bukan untuk menceritakan tetapi melukiskan, (3). Bukan untuk menerangkan atau menjelaskan tetapi mengajak atau mendorong para pembaca berkreasi, (4). Bukan untuk berbicara tetapi berdendang atau berlagu, (5). Bukan untuk berdendang atau berlagu melulu tetapi justru membangun atau menimbulkan dendang atau lagu pada para penikmatnya (Mirrielees dalam Tarigan, 1993 : 43).
 Diksi berarti pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Diksi sebagai satu unsur yang ikut membangun keberadaan puisi berarti pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan-perasaan yang bergejolak dan menggejala dalam dirinya. Peranan diksi di dalam penulisan puisi memiliki arti penting karena kata-kata adalah segala-galanya dalam puisi.
Demikianlah pembahasan tentang perbendaharaan kata dalam puisi. Kata-kata dalam kehidupan sehari-hari dirasa masih kurang tepat untuk mewakili apa yang hendak dinyatakan, maka dicari perbendaharaan kata dalam bahasa ibu atau kata-kata dari bahasa kuno. Banyak pula yang menggunakan kata-kata asing seperti : solitude, intermezzo serta kata-kata asing lainnya. Urutan kata-kata dalam puisi yang disusun secara cermat oleh penyair, jika urutannya diubah maka akan terganggu keharmonisan komposisi kata-kata juga mendukung perasaan dan nada yang diinginkan penyair, jika urutan katanya diubah maka perasaan dan nada yang ditimbulkan akan berubah pula. Kata-kata pilihan penyair memiliki kekuatan mensugesti pembaca. Bahasa puisi lebih bersifat konotatif dari pada bahasa prosa, hal ini antara lain diusahakan untuk mendapatkan daya sugesti itu sendiri.
















1 komentar:

  1. terima kasih...
    amat lengkap pembahasannya
    membuat terpana yang membaca
    amat besar manfaatnya
    terima kasih sekali lagi

    salam benny

    BalasHapus